By : Riyadi S.
Teori Interaksionalisme Simbolik Mead dan Blumer
Manusia adalah masyarakat dalam bentuk
miniatur. Ketika dia berkomunikasi dengan dirinya sendiri, dia bisa menjadi
subyek dan sekaligus obyek. Dalam komunikasi itu pula, manusia berpikir,
menunjuk segala sesuatu, menginterpretasikan situasi, dan berkomunikasi dengan
dirinya sendiri dengan cara-cara berbeda.
Berpikir berarti berbicara kepada diri sendiri,
sama seperti cara kita berbicara dengan orang lain. Percakapan dengan diri
sendiri sebagian besar dilakukan dengan diam. Tanpa diri sendiri, manusia tidak
akan mampu berkomunikasi dengan orang lain, sebab hanya dengan itu, maka
komunikasi efektif dengan orang lain bisa terjadi.
Dari situ akan terdapat banyak ‘arti’. Individu
yang menyampaikan ‘arti’ pada dirinya sendiri, pada saat itu juga ia memberikan
‘arti’ pada orang lain. Perasaan terhadap diri seseorang dibentuk dan didukung
oleh respon orang lain. Jika seseorang konsisten menunjukkan dirinya dalam
pelbagai perbedaan, maka dia juga harus menerima perlakuan orang lain sesuai
yang dia berikan padanya.
Jika seseorang secara konsisten ditertawakan
dan diremehkan, maka tampaknya tak ada sesuatu yang lain yang dia anggap pada
dirinya kecuali bahwa dirinya memang rendah. Jika seseorang kerap diabaikan
–terutama di dalam situasi di mana dirinya minta untuk diperhatikan–, maka dia
akan sangat yakin bahwa dirinya memang benar-benar tak berguna. Dan inilah yang
dibincangkan dalam dalam teori interaksionisme simbolik.
a. Teori Interaksionisme
Simbolik Mead
Perbedaan
penggunaan bahasa pada akhirnya juga menentukan perbedaan cara berpikir manusia
tersebut. Contoh sederhana adalah cara pikir orang yang berbahasa indonesia
tentunya berbeda dengan cara pikir orang yang berbahasa jawa. Begitu pula orang
yang berbahasa sunda akan berbeda cara berpikirnya dengan orang yang berbahasa
inggris, jerman, atau arab.
Akan tetapi
walaupun pemaknaan suatu bahasa banyak ditentukan oleh konteks atau konstruksi
sosial, seringkali interpretasi individu sangat berperan di dalam modifikasi
simbol yang kita tangkap dalam proses berpikir. Simbolisasi dalam proses
interaksi tersebut tidak secara mentah-mentah kita terima dari dunia sosial,
karena kita pada dasarnya mencernanya kembali dalam proses berpikir sesuai
dengan preferensi diri kita masing-masing.
Walaupun secara
sosial kita berbagi simbol dan bahasa yang sama dalam kontek Kabayan dan kata
kampungan tadi, belum tentu dalam proses berpikir kita sama-sama menafsirkan
kata Kabayan dan kampungan dengan cara atau maksud yang sama dengan orang yang
lainnya. Semuanya sedikit banyak dipengaruhi oleh interpretasi individu dalam
penafsiran simbolisasi itu sendiri.
Pemaknaan
merujuk kepada bahasa. Proses berpikir merujuk kepada bahasa. Bahasa menentukan
bagaimana proses pemaknaan dan proses berpikir. Jadi, ketiganya saling terkait
secara erat. Interaksi ketiganya adalah yang menjadi kajian utama dalam
perspektif interaksionisme simbolik.
Dalam tataran
konsep komunikasi, maka secara sederhana dapat dilihat bahwa komunikasi
hakikatnya adalah suatu proses interaksi simbolik antara pelaku komunikasi.
Terjadi pertukaran pesan (yang pada dasarnya terdiri dari
simbolisasi-simbolisasi tertentu) kepada pihak lain yang diajak berkomunikasi
tersebut. Pertukaran pesan ini tidak hanya dilihat dalam rangka transmisi
pesan, tapi juga dilihat pertukaran cara pikir, dan lebih dari itu demi
tercapainya suatu proses pemaknaan.
Komunikasi
adalah proses interaksi simbolik dalam bahasa tertentu dengan cara berpikir
tertentu untuk pencapaian pemaknaan tertentu pula, di mana kesemuanya
terkonstruksikan secara sosial.
Mungkin
kontribusi terbesar Mead terhadap bagaimana kita memahami cara kita berpikir
adalah konsepsi Mead tentang ‘seni berperan’ (take the role of the other).
Setelah kita
paham tentang konsep meaning, language, dan thought saling
terkait, maka kita dapat memahami konsep Mead tentang ‘diri’ (self).
Konsep diri menurut Mead sebenarnya kita melihat diri kita lebih kepada
bagaimana orang lain melihat diri kita (imagining how we look to another
person). Kaum interaksionisme simbolik melihat gambaran mental ini sebagai the
looking-glass self dan bahwa hal tersebut dikonstruksikan secara sosial.
Dalam konsepsi
interaksionisme simbolik dikatakan bahwa kita cenderung menafsirkan diri kita
lebih kepada bagaimana orang-orang melihat atau menafsirkan diri kita. Kita
cenderung untuk menunggu, untuk melihat bagaimana orang lain akan memaknai diri
kita, bagaimana ekspektasi orang terhadap diri kita. Oleh karenanya konsep diri
kita terutama kita bentuk sebagai upaya pemenuhan terhadap harapan atau
tafsiran orang lain tersebut kepada diri kita.
Kita acap kali
mencoba memposisikan diri ke dalam orang lain, dan mencoba melihat bagaimanakah
perspektif orang tersebut ketika memandang diri kita. Kita semacam meminjam
kaca mata orang lain tersebut untuk dan dalam melihat diri kita.
Konsep diri
adalah fungsi secara bahasa. Tanpa pembicaraan maka tidak akan ada konsep diri.
Nah, konsep diri ini sendiri pada nantinya terbentuk atau dikonstruksikan
melalui konsep pembicaraan itu sendiri, melalui bahasa (language).
Sebagai contoh
adalah bagaimana proses komunikasi dan permainan bahasa yang terjadi dalam
hubungan antara dua orang, terutama pria dengan wanita. Ketika mereka
berkomunikasi dengan menggunakan simbolisasi bahasa SAYA dan ANDA, maka konsep
diri yang terbentuk adalah “dia ingin diri saya dalam status yang formal”. Atu
misalkan simbolisasi bahasa yang dipakai adalah ELO dan GUE maka konsep diri
yang terbentuk adalah “dia ingin menganggap saya sebagai teman atau kawan
semata”. Dan tentunya akan sangat berbeda jika simbolisasi yang digunakan
adalah kata AKU dan KAMU, maka konsep diri yang lebih mungkin adalah “dia ingin
saya dalam status yang lebih personal, yang lebih akrab” atau lebih merujuk
kepada konsep diri bahwa “kita sudah jadian atau pacaran”. Misalkan. Jadi,
dalam suatu proses komunikasi, simbolisasi bahasa yang digunakan akan sangat
berpengaruh kepada bagaimana konsepdiri yang nantinya akan terbentuk.
Lebih luas lagi
pada dasarnya pola komunikasi ataupun pola interaksi manusia memang bersifat
demikian. Artinya, lebih kepada proses negosiasi dan transaksional baik itu
antar dua individu yang terlibat dalam proses komunikasi maupun lebih luas lagi
bagaimana konstruksi sosial mempengaruhi proses komunikasi itu sendiri. Teori
interaksionisme simbolik mendeskripsikan hal ini secara gamblang.
b. Teori Interaksionisme Simbolik Herbert
Blumer
Blumer
mengutarakan tentang tiga prinsip utama interaksionisme simbolik, yaitu tentang
pemaknaan (meaning), bahasa (language), dan pikiran (thought).
Premis ini nantinya mengantarkan kepada konsep ‘diri’ seseorang dan
sosialisasinya kepada ‘komunitas’ yang lebih besar, masyarakat.
Blumer
mengajukan premis pertama, bahwa human act toward people or things on the
basis of the meanings they assign to those people or things. Maksudnya,
manusia bertindak atau bersikap terhadap manusia yang lainnya pada dasarnya
dilandasi atas pemaknaan yang mereka kenakan kepada pihak lain tersebut.
Sebagai contoh,
dalam film Kabayan, tokoh Kabayan sebenarnya akan memiliki makna yang
berbeda-beda berpulang kepada siapa atau bagaimana memandang tokoh tersebut.
Ketika Kabayan pergi ke kota besar, maka masyakat kota besar tersebut mungkin
akan memaknai Kabayan sebagai orang kampung, yang kesannya adalah norak,
kampungan. Nah, interaksi antara orang kota dengan Kabayan dilandasi pikiran
seperti ini. Padahal jika di desa tempat dia tinggal, masyarakat di sana
memperlakukan Kabayan dengan cara yang berbeda, dengan perlakuan lebih yang
ramah. Interaksi ini dilandasi pemikiran bahwa Kabayan bukanlah sosok orang
kampung yang norak.
Once people
define a situation as real, its very real in its consequences. Pemaknaan tentang apa yang nyata bagi kita pada hakikatnya berasal dari
apa yang kita yakini sebagai kenyataan itu sendiri. Karena kita yakin bahwa hal
tersebut nyata, maka kita mempercayainya sebagai kenyataan.
Dalam contoh
yang sama, ketika kita memaknai Kabayan sebagai orang yang kampungan, maka kita
menganggap pada kenyataannya Kabayan memang adalah orang yang kampungan. Begitu
pula sebaliknya.
Premis kedua
Blumer adalah meaning arises out of the social interaction that people have
with each other. Pemaknaan muncul dari interaksi sosial yang dipertukarkan
di antara mereka. Makna bukan muncul atau melekat pada sesuatu atau suatu objek
secara alamiah. Makna tidak bisa muncul ‘dari sananya’. Makna berasal dari
hasil proses negosiasi melalui penggunaan bahasa (language)—dalam
perspektif interaksionisme simbolik.
Di sini, Blumer
menegaskan tentang pentingnya penamaan dalam proses pemaknaan. Sementara itu
Mead juga meyakini bahwa penamaan simbolik ini adalah dasar bagi masyarakat
manusiawi (human society).
Ketika kita
menyebut Kabayan tadi dengan bahasa kampungan, konsekuensinya adalah kita
menarik pemaknaan dari penggunaan bahasa ‘kampungan’ tadi. Kita memperoleh
pemaknaan dari proses negosiasi bahasa tentang kata ‘kampungan’. Makna dari
kata ‘kampungan’ tidaklah memiliki arti sebelum dia mengalami negosiasi di
dalam masyarakat sosial di mana simbolisasi bahasa tersebut hidup. Makna kata
kampungan tidak muncul secara sendiri, tidak muncul secara alamiah. Pemaknaan
dari suatu bahasa pada hakikatnya terkonstruksi secara sosial.
Premis ketiga
Blumer adalah an individual’s interpretation of symbols is modified by his
or her own thought process. Interaksionisme simbolik menggambarkan proses
berpikir sebagai perbincangan dengan diri sendiri. Proses berpikir ini sendiri
bersifat refleksif. Nah, masalahnya menurut Mead adalah sebelum manusia bisa
berpikir, kita butuh bahasa. Kita perlu untuk dapat berkomunikasi secara
simbolik. Bahasa pada dasarnya ibarat software yang dapat menggerakkan
pikiran kita.
Cara bagaimana
manusia berpikir banyak ditentukan oleh praktek bahasa. Bahasa sebenarnya bukan
sekedar dilihat sebagai ‘alat pertukaran pesan’ semata, tapi interaksionisme
simbolik melihat posisi bahasa lebih sebagai seperangkat ide yang dipertukarkan
kepada pihak lain secara simbolik. Komunikasi secara simbolik.
Jadi, pada
dasarnya Teori Interasionisme Simbolik adalah sebuah teori yang mempunyai inti
bahwa manusia bertindak berdasarkan atas makna – makna, dimana makna tersebut
didapatkan dari interaksi dengan orang lain, serta makna – makna itu terus
berkembang dan disempurnakan pada saat interaksi itu berlangsung.